Di malam yang sunyi ini aku teringat akan kamu. Kamu yang pernah mengisi hari-hariku dulu. Malam ini aku ditemani oleh secangkir coklat panas, malamku tak lagi sunyi, diiringi oleh merdunya suara rintik hujan. Aku pandang jendela kamarku, aku melihat bayangan dirimu di luar sana dengan motor kesayanganmu bewarna hitam. Dengan helm hitam kado ulang tahunmu dariku. Dengan gagahnya , kamu berdiri dan memanggil namaku dengan sebutan “sayang”. Kamu melakukannya hampir setiap pagi, semuanya masih kuingat dengan jelas.
Aku dengan semangatku menghampirimu, kamu cium pipiku dengan penuh cinta. Tak pernah bosan kamu melakukan itu. Aku selalu merasa menjadi wanita paling beruntung memiliki kamu. Aku bahagia bersamamu. Hari-hari aku lewati bersamamu dengan penuh canda dan tawa. Jalan berdua setiap minggu. Kamulah semangat hidupku. Namun perjalanan kita tak mulus, ada pertengkaran-pertengkaran kecil, perdebatan ringan, dan perbedaan pendapat antara kita, tetapi kita bisa menghadapinya berdua.
Hingga saat itu terjadi, saat di mana kamu mengecewakan aku. Seketika gambaran malaikat dalam dirimu lenyap begitu saja. Aku kecewa, ternyata di belakangku kamu masih tetap berhubungan dengannya, dia yang kau sebut mantan kekasihmu. Aku tak pernah mempersalahkan kamu berteman dengan siapa saja, aku tak pernah melarang, namun kamu harus tahu ada batasan-batasan dalam sebuah hubungan pertemanan. Aku tak bodoh. Aku bukan anak kecil yang mudah kamu tipu. Dengan mudah aku percaya padamu, dan dengan mudah pula kamu menghancurkannya.
Pertengkaran hebat antara kita terjadi, kamu bertahan dengan alasanmu, sedangkan aku tak bisa menerima perlakuanmu yang mengecewakanku. Aku tak pernah mau tahu apa alasanmu, sudah sangat jelas tergambar di bola mataku kamu dan dia lebih dari sekedar teman biasa. Apa kamu masih pantas untuk aku maafkan. Jangankan memafkan , mendengarkan penjelasanmu pun aku muak.
Sejak saat itu aku putuskan untuk lebih baik kita berjalan sendiri dulu. Menenangkan pikiran sejenak, mencoba menelaah apa yang harus memisahkan kita. Dalam lubuk hatiku yang terdalam, rindu ini masih milikmu, cinta ini masih untukmu, namun kepercayaan tak mudah untuk dibangun kembali. Kini, aku sendiri tanpamu disampingku. Berhari-hari kulalui tanpamu. Apakah kamu masih baik-baik saja di sana..??
Hampir dua minggu tak lagi ada kabar darimu, wanita itu muncul di hadapanku. Wanita yang kamu sebut sebagai mantan kekasihmu yang dahulu pernah menyakitimu, meninggalkanmu demi laki-laki lain. Dia menemuiku. Dia ingin memberitahu kabar tentang mu , namun aku tak pedulikan dia, dia yang merebut orang yang aku cinta. Dia yang membuat kepercayaanku kepadamu lenyap. Aku muak. Namun, dia tetap berusaha menemuiku. Dan pada akhirnya aku menyerah, kubiarkan dia menceritakan apa yang sebenarnya terjadi.
Sejenak ia terdiam, menghela nafas panjang. Tetesan mata itu mengalir dari pipinya. Aku mulai khawatir. Aku mulai bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi. Namun, hanya isakan tangis kecil darinya yang aku dapatkan. Ia mengajakku ke suatu tempat dan tempat itu tak asing lagi untukku, tempat di mana aku bertemu dengan kekasihku dan mantan pacarnya yang sekarang sedang bersamaku. Ada apakah di sana. Tanda Tanya di otakku semakin membesar.
Ia menggandengku ke arah ruang ICU, kulihat dari kaca kecil di pintu. Di atas tempat tidur itu terbaring orang yang sangat aku cinta, orang yang sangat aku sayang, orang yang saat ini ingin sekali aku peluk, orang yang saat ini sangat aku rindukan. Tak lagi kuat kaki ini menahan beratnya beban tubuhku, seketika aku lemas, terududuk di atas dinginnya lantai rumah sakit.
Kini baru aku menyadari semuanya, ternyata putra, orang yang sangat aku cinta yang kini terbaring lemah dengan tubuhnya yang penuh dengan selang, dia tak pernah mengecewakanku. Aku yang dibutakan oleh rasa cemburuku hingga tak pernah mau mendengarkan penjelasannya. Ia mengidap penyakit yang cukup serius yang menyerang jantungnya. Dan dokter yang menanganinya adalah orang tua dari wanita tersebut.
Putra tak pernah menceritakan tentang penyakitnya, yang ia ceritakan hanya lah kebahagiaannya dan ia tak pernah ingin aku meneteskan air mataku. Ia hanya ingin dia lah alasan utama di balik senyumku. Hanya itu. Kini penyesalan mendera jiwaku. Tak ada hentinya air mata ini menetes. Aku duduk di samping tempat tidurnya, berharap ia membuka matanya, tersenyum, menggenggam tanganku dan memanggilku “sayang”. Malam semakin larut, aku selalu terjaga di setiap malamku, tak sedetik pun aku berpaling dari wajahnya. Tak pernah kulepas genggaman tanganku dari jemarinya. Hanya keajaiban Tuhan yang mampu membuatnya ceria seperti dahulu kala. Dan aku tak pernah lelah untuk meminta kesembuhan kepada-Nya.
Tuhan kembalikan cintaku, kembalikan Tuhan aku ingin dia hidup, aku ingin dia selalu ada di sampingku, aku hanya ingin dia Tuhaan. Aku tak ingin mengecewakan dia lagi. Beri aku kesempatan untuk buatnya bahagia, beri aku waktu sekali lagi untuk bersamanya. Tertawa lagi bersamanya, melewati hari demi hari dengannya. Aku merindukan tentang kita.
Air mata ku jatuh tak tertahan. Dan kamu masih saja terdiam. Mataku terasa sangat berat, tubuhku pun mulai letih. Pagi ini aku menyusuri lorong rumah sakit. Sepi, mungkin ini masih terlalu pagi. Kulihat jam tanganku menunjukkan pukul 05.00. Aku mencoba mencari udara segar di luar sana. Tepat pukul 07.00 aku kembali ke kamar bernomor 707 tempat di mana putra terbaring. Aku melewati lorong yang sama.
Aku melihat banyak orang berkumpul di depan ruangan itu. Tampak ke dua orang tua putra ada di sana. Suasana tiba-tiba menjadi hening. Hanya terdengar isakan tangis. Aku tak tahu apa yang mereka sembunyikan dariku. Aku tak berani melihat keadaan putra, aku masih takut ketika aku tak bisa menerima kenyataan buruk yang terjadi kepadanya.
Dokter keluar dengan raut muka yang sedikit pucat. Keadaan putra semakin kritis. Aku tak kuat mendengarnya. Apakah aku siap jika suatu saat nanti aku kehilangan dia..?? pertanyaan itu tiba-tiba menghantui pikiranku. Aku hanya menangis, mencoba menguatkan diriku. Apa yang bisa aku lakukan..?? jika aku bisa meminta langsung kepada Tuhan , aku ingin meminta tukar nyawaku dengan dia, ini salahku, semua ini salahku. Kini, semuanya hanya bisa pasrah, biarkan putra berjuang melawan penyakitnya, jika ia lelah biarkan ia pergi dengan tenang. Namun, aku tak bisa, aku tak bisa seperti mereka. Aku terlalu bodoh, aku terlalu buta karena kecemburuanku.
Ku hampiri tempat ia terbaring, aku mencoba menguatkan orang yang aku sayang agar ia bisa bertahan dan berjuang melawan penyakitnya. Kenangan manis masa lalu kita berdua. Apakah kamu merindukannya..?? aku ingin mengulang kembali bersamamu. Kubisikkan ke telinganya. Seketika itu jemarinya yang sedari tadi ku genggam, tergerak perlahan. Aku menangis bahagia, seisi kamar pun berkumpul, berharap putra akan sadar.
Ya, harapan kami tak sia-sia, putra tersadar. Ia telah melewati masa kritisnya. Kami semua bahagia atas keajaibanNya. Hari demi hari aku menjaganya dengan penuh kasih sayang, hingga keadaannya benar-benar pulih. Masa sulit itu berakhir, namun kekhawatiran masih saja menggentayangiku. Karena bisa saja sewaktu-waktu penyakit itu datang lagi dan mengambil orang tersayangku pergi untuk selamanya. Kini kehidupanku bersamanya kembali seperti dulu.
Aku masih bisa menikmati senyumnya, menikmati candaan khas dan tingkahnya yang terkadang membuatku tak bisa berhenti tertawa. Dan kejadian itu memberiku pelajaran untuk bisa saling mendengarkan satu sama lain. Aku bersyukur memiliki dia, meskipun dia tidak sempurna namun cintanya yang menyempurnakanku.
Cintailah orang yang sekarang ini menjadi milikmu, karena belum tentu esok hari ia masih menjadi milikmu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar